Month: November 2012

Suatu Hari di Gerbong Makan

Kereta Taksaka Pagi, dalam perjalanan pulang Yogyakarta-Jakarta, 16 November 2012.

Image

Coffee Break | Petugas karcis sedang rehat ngopi di gerbong makan.

Image

Sok Instagram | Jendelanya retak, dan di luar ada pohon.

Image

Dua Serangkai | Kopi dan buku, teman perjalanan yang pengertian.

Image

Kesepian | Kipas angin yang kesepian, menerawang keluar jendela.

Image

Rikuh | Tiga laki-laki, satu perempuan. Jadi rikuh.

Image

Bukan Charlie’s Angels | Pramugari-pramugari kereta sedang istirahat di gerbong makan.

Image

Dilema | Nama dan kontak ada di meja redaksi. šŸ™‚

Image

Beraksi Lagi | Petugas karcis kembali bekerja setelah rehat ngopi.

Image

Rel |Ā Perjalanan masih panjang.

Konglomerasi Media dan Kemungkinan Lainnya

Kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan, sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satu pun sudut kemungkinan untuk berkata ā€œtidak mungkinā€.

(Barisan Nisan, Homicide)

Perlu berapa orang konglomerat untuk menerbitkan koran? Secara teknis tidak dibutuhkan satu konglomerat pun. Pengalaman saya di BPPM Balairung mengajarkan, proses penerbitan koran hanya memerlukan orang-orang yang mencurahkan tenaganya secara langsung dan konkrit. Baik ia seorang penulis, fotografer, ilustrator, penata letak, teknisi cetak, atau pencari mitra. Tak dibutuhkan sama sekali peran pengusaha raksasa yang kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki sambil memantau naik-turun saham perusahaannya.

Tapi kita hidup dalam dunia kapitalis yang jungkir balik. Dunia dimana modal bernilai lebih mulia dari kerja-kerja konkrit. Pertanyaan tadi pun jadi terbalik: berapa koran yang perlu diterbitkan oleh seorang konglomerat? Sebanyak-banyaknya!

Oleh pertanyaan yang terakhir ini si konglomerat diposisikan sebagai causa prima. Artinya, terbit atau tidaknya suatu koran tergantung pada keinginan konglomerat. Otomatis manajemen, pengerjaan, perspektif, dan isi koran juga berada dibawah kendali konglomerat. Koran disini hanya contoh saja. Kenyataannya, model seperti ini terjadi pada beragam media massa cetak maupun elektronik. Kuasa konglomerat dan ketersediaan ragam media ini kemudian ditingkahi logika standar kapitalis: eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi. Setelah mengeksploitasi pekerjanya di satu media, konglomerat pun mengakumulasi keuntungan. Hasil akumulasi tersebut tak disimpan di bawah bantal melainkan diputar lagi agar nilai keuntungannya tak hilang karena inflasi. Makanya kemudian si konglomerat melakukan ekspansi: ia membeli atau membentuk media massa baru. Ketika si konglomerat menguasai banyak media massa inilah konglomerasi atau cross ownership terjadi.

Konglomerasi ini juga terjadi di Indonesia. Setelah rejim Orde Baru tumbang, tak ada lagi Menteri Penerangan Harmoko yang mengekang media massa dengan alasan ā€œmenurut petunjuk bapak presidenā€. Terjadilah semacam euforia yang memunculkan banyak media massa di Indonesia, baik cetak hingga elektronik. Namun dari sekian banyak media yang ada, ternyata memunculkan hanya 12 group media besar. Dari 12 group perusahaan media massa itu, 10 group memiliki televisi. Bahkan ada sebuah group perusahaan yang memiliki 20 channel televisi. Sebanyak 6 group perusahaan media memiliki radio. Sebanyak 9 group memiliki koran atau majalah cetak. Dan 8 group memiliki media online.[1] Monopoli kepemilikan ini terjadi antara lain oleh PT Visi Media Asia Tbk yang memiliki ANTV dan TVOne, PT Elang Mahkota Teknologi yang mengusai Indosiar, SCTV dan O Channel, serta PT Media Nusantara Citra Tbk yang menguasi RCTI, Global TV dan MNC TV.[2]

Image

Lalu apa konsekuensi konglomerasi media?

Pertama, konglomerasi media mendegradasi demokrasi menjadi oligarki konglomerat. Media sejatinya adalah salah satu pilar demokrasi. Dengan demokrasi maka distribusi kekuasaan dapat dilakukan, baik kekuasaan politik maupun ekonomi. Ini karena media dapat difungsikan sebagai sebuah alat kontrol sosial yang mencegah munculnya monopoli kekuasaan oleh pihak tertentu. Selain itu media juga dapat menjadi ruang publik dimana orang-orang dari berbagai kalangan dapat mengartikulasikan kepentingannya. Makanya seorang jurnalis dapat dibilang memiliki tugas ā€œkenabianā€ untuk membuka ruang publik untuk kebaikan publik pula. Namun dibawah bayang-bayang konglomerasi, fungsi kontrol sosial dan ruang publik media menjadi tak optimal atau bahkan mandul sama sekali. Ini karena media oleh pemiliknya dijadikan sebagai instrumen ekonomi-politiknya semata. Para konglomerat pemilik media menjadikan medianya sebagai wahana untuk membangun opini publik demi mengaktualisasikan kepentingan pribadinya. Jurnalis-jurnalisnya pun dipaksa untuk tunduk pada kepentingan pemiliknya, bukan pada kepentingan publik. Inilah wujud oligarki orang-orang kaya. Ā Menurut Jeffrey Winters oligarki terkait dengan politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan. Orang-orang kaya itu terlibat dalam mempengaruhi kebijakan, termasuk dalam hal ini tentunya membangun opini publik, untuk mempertahankan kekayaannya dari ā€˜gangguanā€™ masyarakat dan negara.[3]

Kedua, dalam wawasan kenusantaraan, konglomerasi ini membangun cara pandang yang sentralistik terhadap daerah-daerah pinggiran. Andreas Harsono, jurnalis senior yang pernah bekerja untuk The Nation di Bangkok, menyebutkan bahwa lebih dari 90 persen berita politik di Indonesia dikuasai oleh media Palmerah. Harsono menggunakan istilah ā€œmedia Palmerahā€ untuk menyebut konglomerat-konglomerat media massa Jakarta.[4] Dominasi media Palmerah yang sudah berlangsung sejak rezim Orde Baru berkuasa ini berimplikasi negatif terhadap jurnalisme, terutama dalam memberitakan konflik antara pusat dan daerah. Dalam meliput konflik di Dili di masa Orde Baru dan di Aceh di masa Reformasi misalnya, media Palmerah sering membingkainya dengan semangat nasionalisme. Hal ini menyebabkan aspirasi warga daerah yang terlibat konflik luput dalam pemberitaan.

Ketiga, konglomerasi media melanggengkan eksploitasi terhadap jurnalis sebagai buruh media. Eksploitasi ini diantaranya terkait upah yang minim. Di Jakarta saja, hasil survei upah jurnalis yang dilakukan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta menjelang hari buruh Mei 2012, menunjukkan banyak jurnalis di Jakarta memiliki penghasilan yang tidak layak, diukur dari standar upah layak AJI Jakarta tahun 2012 yang tahun sebesar Rp 4,9 juta per per bulan (take home pay, untuk jurnalis setingkat reporter dengan masa kerja 1-3 tahun). Ternyata, jurnalis televisi dari stasiun televisi milik konglomerat media nasional, misalnya, bahkan hanya diberikan upah tidak sampai Rp 3 juta per bulan (lihat daftar survei upah). Kondisi ini tentu tidak kondusif untuk menciptakan iklim jurnalisme yang sehat di Indonesia. Kesejahteraan jurnalis yang rendah tentu akan membuat jurnalis rentan mendapat godaan suap dalam bentuk apapun dari narasumber. Ini sangat membahayakan bagi kebebasan pers karena pers dapat dikendalikan oleh kepentingan narasumber, tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik.[5]

Selain minimnya upah, kondisi kerja jurnalis di Jakarta awal tahun 2012 diwarnai dengan pemberangusan serikat pekerja oleh perusahaan media. Pemberangusan serikat pekerja ini menandakan media massa di Indonesia belum benar-benar menjadi instrumen demokrasi yang sejati, karena perusahaan media justru menebarkan ancaman terhadap kebebasan bersuara dan berorganisasi bagi jurnalis. Hal ini tercermin dari kasus Luviana yang dipecat oleh manajemen Metro TV dan pemecatan 13 orang anggota dan pengurus Serikat Pekerja Indonesia Finance Today (IFT) yang saat ini diadvokasi oleh AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.[6]

Oleh konglomerasi media, kita dipaksa percaya bahwa tak ada kemungkinan lain selain tunduk dan berserah diri pada modal. Kita dipaksa percaya bahwa oligarki para konglomerat dengan gaya berpikirnya yang kefasis-fasisan itu tak bisa dibobol oleh semangat yang baru. Semua yang berada di luar lingkaran oligarki konglomerat kemudian dilukiskan sebagai kelompok pasif-melakolis yang tak mampu berjuang secara politis. Menghadapi kondisi ini, tugas dari intelektual organik adalah melakukan demistifikasi ketidakmungkinan dan membuka kemungkinan yang lain.

Peran dari intelektual organik ini sangat mungkin untuk diemban oleh pers mahasiswa. Terlebih lagi pers mahasiswa semacam BPPM Balairung. Sejak awal keberadaannya, pers mahasiswa memang dikenal sebagai organisasi yang vokal secara politis. Bahkan Daniel Dhakidae menyebut jurnalisme pers mahasiswa dengan nama garang: adversary journalism, jurnalisme perlawanan. Kondisi ini menjadi mungkin lantaran pers mahasiswa masih dihidupi oleh semangat kerja kolektif, bukan oleh modal konglomerat seperti media massa mainstream. Selain itu posisi sebagai mahasiswa juga seringkali identik sebagai fase perjuangan intelektual dalam sejarah. Sekarang tinggal bagaimana pers mahasiswa menyatakan perspektifnya dengan tegas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip jurnalisme.

Ditulis untuk diklat umum ekonomi-politik BPPM Balairung UGMĀ 

11 November 2012


[1] Firdaus Cahyadi, Konglomerasi Media dan Politik Oligarki, Kolom Opini Koran TEMPO, 21 Maret 2012

[2] Monopoli Kepemilikan Lembaga Penyiaran Langgar UU, KOMPAS.com, 18 Oktober 2011. http://nasional.kompas.com/read/2011/10/18/22535833/Monopoli.Kepemilikan.Lembaga.Penyiaran.Langgar.UU (Diakses pada 10 November 2012)

[3] Firdaus Cahyadi, Ibid.

[4] Andreas Harsono, ā€˜A9amaā€™ Saya Adalah Jurnalisme, 2010, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

[5] Konglomerasi Media Menggurita, Jurnalis Belum Sejahtera, Pers Rilis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dalam demonstrasi hari buruh sedunia, 1 Mei 2012. http://ajijakarta.org/news/2012/05/01/121/konglomerasi_media_menggurita_jurnalis_belum_sejahtera.html (Diakses pada 10 November 2012)

[6] Ibid

TKI On Sale: Bukan Hanya Soal Brosur Tempel

Hanya karena selebaran brosur tempel, hubungan Indonesia-Malaysia beberapa hari belakangan jadi gonjang-ganjing. Musababnya terletak pada apa yang diiklankan brosur tersebut. Tak seperti brosur-brosur tempel di Jakarta yang biasanya menawarkan jasa sedot WC, brosur tempel yang satu ini menawarkan pembantu rumah tangga asal Indonesia dengan harga obral. Brosur tempel yang beredar di jalan-jalan Kuala Lumpur ini bertuliskan “Indonesian maids now on SALE!!!”.

Kalimat ini menyebar di berbagai media massa dan memicu kemarahan sejumlah kalangan di Indonesia. Dari aktivis LSM hingga anggota DPR mengecam brosur ini sebagai penghinaan terhadap Indonesia. Di lain pihak para jurnalis Malaysia juga turut mengecam brosur ini. Tak mau ketinggalan, kalangan awam Indonesia menyebarkan foto brosur ini sambil menumpahkan sumpah serapah di jejaring sosial.

Menghadapi tekanan dari berbagai kalangan ini pemerintah langsung turut mengecam oknum pembuat brosur dan bahkan mengultimatum pemerintah Malaysia. Pemerintah Indonesia menuntut agar Malaysia menindaklanjuti penyebaran brosur yang merendahkan martabat bangsa tersebut. Untuk menandakan keseriusannya, pemerintah Indonesia siap merombak lagi MoU Indonesia-Malaysia terkait penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia yang dulu dicapai melalui perundingan alot. “Kalau tidak ada komitmen, maka kasus ini akan dibawa pada pertemuan pembahasan implementasi MoU penempatan dan perlindungan TKI dengan Malaysia pada pertengahan November,”[1]Ā ujar Dita Indah Sari, Staf ahli Kemenakertrans. Tingginya level diplomasi dalam Ā kasus ini juga ditandai dengan keterlibatan dua kementrian, Kemenlu dan Kemenakertrans, secara langsung.

Reaksi indonesia ini ditanggapi serius oleh pemerintah Malaysia. Melalui JTK (setingkat atase) Sumber Manusia, pemerintah Malaysia memastikan oknum penyebar brosur TKI On Sale berstatus ilegal, alamat hasil penelusuran juga ternyata kedai cukur rambut. Meskipun begitu pemerintah Malaysia berjanji akan mengusut kasus ini hingga tuntas dan menghukum pelakunya.

Persoalan pun seolah-olah selesai. Sekali lagi, diplomasi tingkat tinggi mampu menutupi akar persoalan dalam penempatan dan perlidungan buruh migran.

Image

Pemerintah dan Agen Swasta Indonesia sebagai Pelaku Eksploitasi

Padahal permasalahan penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia tak hanya gara-gara brosur tempel ilegal ini saja. Bahkan oknum penyebar brosur TKI On Sale ini hanya aktor kecil-kecilan dalam penempatan buruh migran yang lebih mirip perdagangan manusia itu. Aktor besarnya tak lain adalah pemerintah Indonesia sendiri. Sejak satu dekade belakangan pemerintah dan swasta Indonesia telah melakukan perdagangan manusia secara legal. Legalitas ini dimulai dengan terbitnya Kepmen 104A/2002, prototipe awal swastanisasi penempatan dan perlindungan buruh migran.

Perbedaan Kepmen 104A/2002 ini dengan peraturan-peraturan sebelumnya adalah penekanannya pada kelompok buruh migran yang bekerja di ranah domestik atau biasa disebut informal seperti pekerja rumah tangga (PRT), pengasuh bayi, dan perawat manula. Karena buruh migran ranah informal ini rentan terhadap berbagai praktik eksploitasi seperti penipuan, pelecehan, dan kekerasan, maka pemerintah berupaya mengurangi pengiriman kelompok ini ke luar negeri. Hal ini dilakukan dengan memberi otoritas pada agen swasta yang disebut Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) untuk menempatkan pekerja informal dan melarang pihak selain PPTKIS untuk menempatkan pekerja informal.[2] Artinya, pemerintah sebenarnya tidak memperketat perlindungan bagi buruh migran informal, melainkan berlepas tangan dan menyerahkan nasib buruh migran informal pada swasta yang profit oriented. Selain memberi otoritas pada PPTKIS, pemerintah juga melindungi kepentingan PPTKIS dengan mengatur sanksi bagi buruh migran yang ā€œmengundurkan diriā€ dan ā€œmelanggar ketentuan perjanjian kerjaā€ pada pasal 88 ayat 2,3, dan 4.[3] Pasal-pasal yang mengatur sanksi terhadap buruh migran ini tak peduli jika buruh migran berada dalam ketentuan-ketentuan kerja yang tak adil.

Peran bisnis swasta semakin diperkuat lagi dua tahun setelah Kepmen 104A/2002 terbit. Pada 2004 pemerintah menerbitkan UU 39/2004 yang secara khusus mengatur penempatan dan perlindungan buruh migran. Swastanisasi penempatan buruh migran ditegaskan melalui pasal 4 dan pasal 10. Pasal 4 melarang orang persorangan menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri, dan pasal 10 menyebutkan pelaksana penempatan tenaga kerja terdiri dari (a) pemerintah dan (b) PPTKIS. Selain penempatan, PPTKIS juga diserahkan mandat untuk melindungi buruh migran seperti dapat dilihat di pasal 82. Pasal 82 ini berbunyi, ā€œPelaksana penempatan TKI swasta bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan kepada calon TKI/TKI sesuai dengan perjanjian penempatan.ā€ Secara keseluruhan, substansi dalam UU 39/2004 lebih banyak membicarakan bisnis penempatan ketimbang perlindungan bagi buruh migran.[4]

Dalam hasil penelitian tim The Institute for Ecosoc Rights yang bekerjasama dengan TIFA Foundation, PPTKIS menempati peran dominan dalam pengelolaan migrasi kerja menurut UU 39/2004. Jumlah pasal penugasan yang melibatkan PPTKIS berjumlah 21 pasal (31%), sedang yang melibatkan pemerintah pusat 18 pasal (27%) dan pemerintah daerah hanya 9 pasal (14%). Pokok urusan yang melibatkan PPTKIS sebanyak 29 urusan (31%), sedang yang melibatkan pemerintah pusat 18 urusan (19%) dan pemerintah daerah 10 urusan (11%).[5] Pasal penugasan dan pokok urusan lainnya melibatkan Menakertrans, KBRI, BNP2TKI, dan lembaga masyarakat. Dominasi peran swasta terbentang luas dari pelatihan kerja, mengurus perubahan perjanjian kerja, sampai mencari sebab kematian buruh migran yang meninggal. Sedang peran pemerintah sebagian besar hanya sebagai pengawas.[6]

Pada ranah penyediaan informasi misalnya, peran pemerintah sangat kecil dibandingkan peran agen swasta atau PPTKIS. Menurut survei yang dilakukan Serikat Buruh Migran Indonesia, 53% buruh migran mendapat info bekerja di luar negeri dari agen swasta atau calo. 30% mendapat info dari teman atau kerabat yang sudah berpengalaman bekerja di luar negeri. Hanya sekitar 2% yang mengaku mendapat info dari pemerintah.[7] Akibat dominasi agen swasta sebagai sumber informasi ini, calon buruh migran mendapat informasi yang timpang. Agen swasta lebih banyak menginformasikan sisi-sisi positif bekerja di luar negeri. Misalnya, informasi tentang banyaknya peluang kerja dan gaji yang tinggi lebih banyak diberikan ketimbang resiko-resiko kerja di luar negeri. Buruh migran pun banyak yang berangkat kerja keluar negeri karena tergiur gambaran-gambaran indah dari agen swasta tanpa sadar akan resikonya.

Dari perannya yang dilegalkan oleh pemerintah ini, PPTKIS meraup untung. Buktinya, jumlah PPTKIS meningkat terus. Pada 2011 tercatat ada 387 PPTKIS.[8] Lalu pada 2012 jumlah PPTKIS meningkat menjadi 565.[9] Di sisi lain pemerintah juga diuntungkan secara ekonomi-politik. Dengan memberangkatkan buruh migran keluar negeri pemerintah mendapatkan: (1) Sumbangan devisa yang bisa dipamerkan sebagai pertumbuhan ekonomi yang kemudian dapat diklaim sebagai bukti keberhasilan strategi ekonomi pemerintah; (2) Terbebas dari angka pengangguran yang dapat mengancam stabilitas nasional. Sedangkan dengan mengoper otoritas penempatan dan perlindungan buruh migran pada swasta, pemerintah: Ā (1) Meminimalkan biaya operasional perlindungan buruh migran; (2) Mendapat pemasukan dari pajak bisnis penempatan dan perlindungan buruh migran.

Berharap pada Perjuangan Kelas

Dapat dilihat bahwa secara sistemik buruh migran memang hanya dijadikan objek dari akumulasi keuntungan dan kekuasaan oleh pemerintah. Dibanding human trafficking yang dilakukan pemerintah dan agen swasta Indonesia, oknum pembuat selebaran ā€œTKI On Saleā€ hanyalah skandal kecil yang seharusnya tak membuat kita heran dan terkaget-kaget. Alasan ultimatum heroik yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Malaysia itu bukan demi perlindungan buruh migran, melainkan ekspresi kemarahan pemerintah karena dagangannya diserobot oknum lain. Jika sudah begini, menggantungkan kesejahteraan buruh migran pada pemerintah hanya akan memperpanjang daftar buruh migran yang menjadi korban eksploitasi.

Pemerintah, apalagi swasta, tak bisa diharapkan lagi untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh migran. Sebab perjuangan kesejahteraan buruh migran ini tak dapat ditempuh melalui jalan sentimen nasionalisme atau diplomasi tingkat tinggi, melainkan melalui perjuangan kelas buruh itu sendiri. Betapa absurdnya mengharapkan pemerintah menjamin kesejahteraan buruh migran di negara lain, sementara pemerintah yang sama melanggengkan penindasan terhadap buruh di negaranya sendiri. Artinya, eksploitasi buruh migran harus dipandang paralel dengan eksploitasi buruh dalam negeri.

Untuk itu strategi perjuangan buruh migran perlu untuk diintegrasikan dengan perjuangan buruh dalam negeri. Dengan pengintegrasian ini, buruh migran dapat menjadi subjek yang aktif-politis dan bukan hanya objek yang pasif-melankolis sebagaimana dalam framing kebanyakan media massa akhir-akhir ini. Selama ini perjuangan kesejahteraan buruh migran hanya dilakukan secara terpisah oleh aktivis LSM, sedangkan serikat buruh hampir tak berperan sama sekali dalam perjuangan kesejahteraan buruh migran.[10] Buruh migran belum menjadi konstituen serikat buruh, dan otomatis tersisih dari perjuangan kelas buruh. Mengakomodasi kepentingan buruh migran dalam serikat buruh memang bukan tugas mudah. Ini karena buruh migran bekerja di luar perbatasan nasional yang juga menjadi perbatasan aktifitas politik serikat buruh secara tradisional.[11] Tantangan bentang geografis inilah yang harus dihadapi dalam pengintegrasian strategi perjuangan buruh migran dan buruh dalam negeri sebagai kelas yang bersatu.

Buruh migran dan buruh dalam negeri, bersatulah!


[1] Indonesia Ultimatum Malaysia Soal ā€œTKI On Saleā€, Republika Online, 30 Oktober 2012, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/10/30/mcp544-indonesia-ultimatum-malaysia-soal-tki-on-sale Diakses pada 30 Oktober 2012.

[2] Eko Prasetyo Adi (Ed), Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI, Antara Indonesia-Singapura-Malaysia, 2010, Jakarta: TIFA Faoundation.

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Erdiana Noerdin, Potret Kemiskinan Perempuan, 2006, Jakarta: Women Research Institute. dalamĀ Agus Pramusinto & Erwan Agus Purwanto (ed), Indonesia Bergerak, 2012, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[8] Govt to Verify 387 Migrant-Workers Providers, Bisnis Indonesia, 7 November 2011. http://www.bisnis.com/articles/govt-to-verify-387-migrant-workers-providers Diakses pada 30 Oktober 2012

[9] 565 PPTKIS Bertekad Utamakan Perlindungan TKI, Pikiran Rakyat, 4 Mei 2012. http://www.pikiran-rakyat.com/node/187245 Diaskses pada 30 Oktober 2012

[10] Michel Ford, Migrant Labour in Southeast Asia, Country Study: Indonesia, Flinders Asia Center & School of Political and International Studies Flinders University

[11] Ibid